" Kejujuran,.. Integritas,.. Kerjasama,.. Hirarki, . . Loyalitas,... . . ."ds

Rabu, 29 Januari 2014

Ribuan Orang Ikuti Nyangku

Ribuan warga Panjalu mengikuti upacara adat Nyangku. Sejak pagi, kemarin, mereka ikut mengarak dan menyaksikan pembersihan benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Panjalu tersebut.
Pukul 07.30, pusaka-pusaka dikeluarkan dari Bumi Alit, tempat penyimpanan pusaka peninggalan Kerajaan Panjalu itu. Setelah itu, pusaka-pusaka itu diarak dengan cara digendong (diais).
Asal-usul para penggendong pusaka-pusaka itu tidak sembarangan. Mereka adalah keturunan raja Panjalu dan warga terpilih.
Saat pengarakan pusaka menunu Nusa Gede, di tengah-tengah Situ Lengkong Panjalu, salawat pun berkumandang. Di makam raja Panjalu terakhir Prabu Boros Ngora itu pusaka “dipertemukan” dengan pemilknya. Kemudian, dibawa kembali menuju Taman Boros Ngora. Di sana, pusaka-pusaka itu dibersihkan menggunakan air dari sembilan mata air kahuripan.
Air-air itu diambil dari Gunung Bitung Majalengka, Cilengkong Panjalu, Cipanjalu Desa Bahara, Kapunduhan Cibungir Kertamandala, Batu Bokor Cikadu Sindang Barang, Cilimus Jaya Giri, Citatah Sanding Taman, Karantenan Gunung Syawal, Pangbuangan Garahang Panjalu dan Geger Emas Ciomas. Sebelumnya, air-air tersebut diberi doa selama 42 malam.
Pembersihan pusaka diawali membuka bungkus pusaka. Dari atas panggung, pusaka-pusaka itu kemudian dibawa menuju tempat pembersihan dari bambu.
Setelah dibersihkan, pusaka kemudian dibungkus dan disimpan kembali ke Bumi Alit. Adapun air yang digunakan untuk membersihkan benda pusaka kemudian diperebutkan warga yang diyakini air tersebut mengandung berkah.
Salah satu pewaris Kerajaan Panjalu H Edi Hernawan Cakradinata menuturkan pada tahun ini hanya tiga pusaka yang dibersihkan secara simbolis, yaitu pedang pemberian Sayidina Ali yang dinamai Zulfikar, Kujang Panjalu dan Keris Stokkomando.
“Biasanya lebih dari tiga pusaka yang dibersihkan, namun tahun ini hanya ada tiga saja yang dibersihkan secara simbolis. Untuk pusaka lainnya akan dilakukan pembersihan besok (hari ini),” ujar pria yang juga ketua Yayasan Boros Ngora ini kepada wartawan usai upacara adat.
Nyangku yang biasa biasa dilaksanakan pada Mulud ini, kata dia, berarti membersihkan diri, membersihkan hati bukan hanya membersihkan benda pusaka semata. “Membersihkan pusaka ini hanya sebagai simbolis saja. Namun pada hakikatnya Nyangku ini berarti mensucikan diri atau membersihkan hati, upacara adat nyangku ini juga sebagai peringatan Maulid Nabi (Muhammad SAW, red),” ungkapnya.
Edi yang merupakan turunan ke-17 dari raja Panjalu Prabu Boros Ngora juga menjelaskan air yang digunakan dari sembilan sumber mata air tersebut memiliki makna bahwa sumber mata air  tersebut harus dijaga demi kelangsungan kehidupan.  Salah satu upayanya yaitu memelihara hutan dan gunung sebagai sumber penyimpanan air.
“Hutan dan gunung harus kita jaga karena sebagai sumber mata air. Air sebagai sumber kehidupan, baik sekarang maupun untuk nanti anak cucu kita,” tandasnya.
Edi juga mengatakan tahun depan berencana menyimpan benda-benda pusaka tersebut di Nusa Gede (Pulau di tengah Situ Lengkong).
“Ini juga salah satu cara agar bisa menarik wisatawan bukan hanya dari turis domestik, diharapkan turis asing juga bisa datang. Ini baru rencana tapi sudah 75 persen, insya Allah bisa direalisasikan di tahun depan,” paparnya.
Sesepuh Yayasan Boros Ngora Prof Dr Johar Wiradinata dalam sambutannya menuturkan upacara Nyangku selain untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW juga untuk mengenang dan menghormati jasa dari Prabu Boros Ngora, sebagai raja terakhir Kerajaan Panjalu dan penyebar agama Islam di Panjalu.
“Pada zaman pemerintahan Prabu Boros juga Nyangku ini selalu diadakan setiap tahunnya yang dijadikan media syiar Islam pada waktu itu,” bebernya.
Bupati Ciamis H Engkon Komara dalam sambutannya menuturkan upacara adat Nyangku jangan dianggap musrik, namun sekadar kebudayaan untuk mengenang para leluhur kerajaan Panjalu.
“Upacara adat Nyangku ini merupakan budaya yang harus terus dilestarikan dan menjadi festival masyarakat agar bisa mengangkat perekonomian masyarakat,” tandasnya.
Dalam momen budaya itu, kemarin, diwarnai hilangnya hape Rudiat (26), wartawan Radar Tasikmalaya TV. Saat berkonsentrasi mengambil gambar, dia kehilangan hape yang disimpan di tas yang disolendangnya. Diduga hape tersebut hilang dicopet.

”Pas saya mau pakai hape sudah tidak ada dalam tas. Kalau soal ponsel saya tidak apa apa karena bisa beli di toko, tapi nomor kontak pentingnya dari narasumber. Saya harus kembali mengumpulkan kontak narasumber,” tandasnya. (Ab@h/Rdr Online.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar