walaupun terlambat ijinkan kami mengucapkan SELAMAT DATANG 2014.......... Tahun Politik......
Pesta kembang api, bunyi terompet dimana-mana, alunan
musik dan keramaian sepanjang jalan dan sudut-sudut kota, menjadi penghias
pergantian tahun, dari tahun 2013 menuju Tahun baru 2014. Apa yang istimewa
dari sebuah perayaan pergantian tahun? Karena di tahun 2013 yang lalu, banyak
peristiwa yang terjadi pada semua sendi kehidupan, baik sosial, budaya,
ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan yang penting untuk direfleksikan
menuju tahun politik di 2014.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa 2014
dikatakan tahun politik? Paling tidak ada dua momentum yang sangat menentukan
masa depan bangsa Indonesia ditahun ini, pertama, pemilihan umum legislatif
yang akan diselenggarakan pada tanggal 9 April 2014. Ini akan menjadi momentum
lahirnya para legislator-legislator mulai dari pusat sampai daerah, sekaligus
penentu elektabilitas partai politik pemenang pemilu. Kedua, pemilihan presiden
Republik Indonesia yang akan diselenggarakan pada tanggal 9 Juli 2014. Ini akan
menjadi penentu lahirnya pemimpin Indonesia yang akan menahkodai negeri ini
selama lima tahun mendatang.
Dari gambaran diatas jelaslah bahwa konsentrasi negeri
ini akan tertuju pada dua momentum besar ini. Tetapi, secara substansi semua
sisi penting untuk kita refleksikan dalam menghadapi tahun politik 2014 yakni
aspek ekonomi dan aspek hukum yang juga tidak bisa dilepaskan dari relasinya
yang sangat dekat dengan politik.
Fenomena Ekonomi Politik Indonesia
Secara simbolik Indonesia direpresantasikan sebagai
negara pinggiran yang tersandera oleh negara pusat (core state) sebagai pemain
utamanya, sehingga tata hubungan ekonomi politik pada level Internasional
menjadi situasi yang timpang. Negara pinggiran semakin terpinggirkan
dikarenakan lembaga-lembaga supra-nasional semisal world bank bekerja bahkan
melampaui kedaulatan negara. Polarisasi dari tangan-tangan negara adidaya
(Amerika Serikat dan Eropa) menjadi konsekuensi globalisasi karena selain
hasrat penaklukan di sektor ekonomi dan politik, segmentasi yang lain seperti
budaya dan sosio-religus juga menjadi orientasi penaklukan neo imperialisme di
Abad 21 yang bernama neo liberalisme.
Secara umum watak neoliberalisme pada level internasional
yaitu : Perdagangan bebas untuk barang dan jasa, kebebasan sirkulasi kapital
dan kebebasan investasi. Neoliberalisme yang pada mulanya lahir dari pemikiran
neo-klasik dan lebih dekat dengan konsep ekonomi politik kapitalis, telah
menjadi hegemoni ruang-ruang sosial yang lain.
Dalam Konteks ekonomi, insvestasi asing besar-besaran
masuk ke Indonesia dengan dalih kesejahteraan rakyat. Tetapi, nalarnya murni
penguasaan aset ekonomi di dalam negeri. Blok perdagangan dunia yang dibentuk
oleh negara inti, (di Amerika Latin di bentuk NAFTA dan di asia tenggara dengan
AFTA) lebih dilatar belakangi oleh penciptaan sentrum-sentrum perdagangan untuk
hasrat pengakuan Amerika.
Skenario globalisasi begitu berdampak terhadap situasi
kebangsaan, keIndonesiaan dan keislaman di negeri ini. Dalam konteks kebangsaan
misalnya, keutuhan Indonesia begitu dengan keberagaman kultural, tetapi oleh
skenario internasional dibuat semakin terpinggirkan dengan ekspor wacana
Amerika di era 90-an yaitu developmentalisme.
Pada sisi yang lain, dinamika politik Indonesia yang
semakin terbuka, menjadi satu pencapaian demokrasi yang baik. Tetapi ada hal
yang lebih substansi dan mesti diperjuangkan hari ini, yakni orientasi dari
politik yang telah mengalami pergeseran terlalu jauh. Politik yang semestinya
bermakna mensejahterakan rakyat, kini berubah menjadi ‘bagi-bagi kekuasaan’.
Politik yang hanya berorientasi kekuasaan inilah yang
menjadi penyebab terjadinya dominasi mayoritas terhadap minoritas di Indonesia.
Otonomi Daerah yang pada awalnya diharapkan menjadi pendorong kemandirian
daerah untuk mengelola pemerintahan justru berbuah oligarki politik lokal yang
lebih jauh menciptakan kesenjangan yang terlalu jauh antara elit politik di
daerah dengan rakyatnya.
Pada titik inilah, merefleksikan kembali makna politik
menjadi faktor penting dalam menumbuhkan sebuah tatanan politik yang
berorientasi untuk kesejahteraan rakyat. Perubahan tafsir politik inilah yang
akan mengarahkan kesadaran para politisi kita untuk benar-benar melahirkan
kebijakan yang benar-benar bersentuhan dengan rakyat.
Sistem Hukum
Pasca reformasi kita sering mendengan istilah reformasi
hukum. Istilah yang dianggap banyak kalangan hanya sekedar pepesan kosong.
Betapa tidak, harapan besar masyarakat Indonesia mengenai penegakan supremasi
hukum disegala bidang dan tanpa pandang bulu belum benar-benar menjadi
kesadaran para elit politik dan para penegak hukum di negeri ini.
Banyak sudah lembaga hukum yang terbentuk di Indonesia,
semestinya ini menjadi isyarat bahwa siapapun yang melakukan pelanggaran hukum
akan dikenai sangsi yang setimpal. Harapan ini menjadi harapan semua masyarakat
kita karena banyak kejahatan yang berimbas pada pemiskinan sistematis. Sebut
saja korupsi—kejahatan yang satu ini benar-benar menjadi sebab musabab
kemiskinan sistematis di Indonesia. Hampir semua bidang kehidupan menjadi
“lahan” untuk melakukan tidak pidana korupsi, mulai dari korupsi pembangunan
fasilitas publik, korupsi di sektor migas dan pertambangan, korupsi APBN,
korupsi bidang perbankan dan lainnya, menjadi wujud ketamakan para elit
terhadap kuasa yang benama “uang”.
Efek terburuk dari korupsi bukanlah pada raibnya uang
negara, melainkan kehancuran kepercayaan rakyat (social distrust) terhadap
pemimpinnya. Kehancuran kepercayaan membawa efek bola salju di tengah kehidupan
berbangsa, yaitu rontoknya nilai-nilai luhur, menipisnya semangat patriotisme,
dan berkembangnya mental pragmatis. Dalam titik itu, Indonesia akan menjadi
bangsa dengan kadar martabat yang rendah dan artinya jalan mewujudkan nation
survivality akan lebih berat.
Pemerintah lewat lembaganya telah melakukan ikhtiyar
untuk pemberantasan kejahatan ini, tetapi lagi-lagi belum mencapai titik yang
maksimal, sepertinya membutuhkan formulasi dan produk hukum yang tepat agak
para pelaku kejahatan benar-benar jera terhadap sebuah keputusan hukum.
Segenap elemen bangsa harus dikerahkan untuk menciptakan
tatanan masyarakat yang sadar hukum. Ini akan menjadi alternatif pencegahan
pelanggaran hukum di level akar rumput. Pada sisi yang lain, para elit politik pun
harus memiliki kesadaran yang sama untuk berhenti membodohi rakyat dengan
manipulasi termasuk melakukan tindakan pidana yang bernama korupsi.
2014 : Arus Balik Kejayaan Indonesia
Di tahun 2013 banyak sudah yang telah terjadi, disemua
aspek kehidupan—yang paling terlihat menjadi wacana yang mengemuka adalah
tertangkapnya parah tokoh yang berasal dari eksekutif, legislatif dan yudikatif
karena tindak pidana korupsi. Dari peristiwa ini paling tidak ada dua catatan
penting, pertama, bahwa tindak pidana korupsi sudah menjamur disemua sendi
kehidupan, mulai dari pusat hingga daerah kedua, tindak pidana korupsi selalu
berelasi dengan politik. Hal ini tergambar dari para pelaku korupsi yang
berasal dari para petinggi partai politik.
Bagaimana nasib negeri ini dimasa yang akan datang jika
semua elemen tidak memiliki kesadaran bersama untuk melahirkan figur-figur
pejuang moralitas. Partai Politik memiliki pekerjaan rumah yang sangat banyak
menuju Pemilu 9 April 2014, karena ditangan partai politiklah akan lahir
“pemimpin yang apabila panen datang dia yang makan paling belakang, apabila
rumah kebakaran dia yang paling akhir menyelamatkan diri dan apabila musuh
datang dia yang paling depan untuk menyambutnya”.
Semoga di momentum tahun Politik 2014 akan menjadi ruang
yang sangat strategis untuk menjadi arus balik kejayaan Indonesia, karena pada
momentum Pemilu mendatang rakyatlah yang akan menentukan nasibnya. Melahirkan
figur-figur yang memiliki integritas dan menjunjung tinggi moralitas serta
memiliki visi KeIndonesiaan yang sadar akan pluralisme dan kebhinekaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar